Antara Pembullyan Phobia sosial Hikikomori dan NEET

Pembullyan adalah sebuah kekerasan yang dapat menghancurkan hidup seseorang karena dapat menimbulkan kurangnya rasa percaya diri pada orang lain. MACAM-MACAM PEMBULLYAN: 1.Bullying secara verbal, yaitu mengejek, menertawakan dan menyindir seperti contoh yang admin berikan diatas. bullying dalam bentuk verbal adalah salah satu jenis yang paling mudah dilakukan dan bullying bentuk verbal akan menjadi awal dari perilaku bullying yang lainnya serta dapat menjadi langkah pertama menuju pada kekerasan yang lebih lanjut. 2.Bullying secara fisik; yang termasuk dalam jenis ini ialah memukuli, menendang, menampar, mencekik, menggigit, mencakar, meludahi, dan merusak serta menghancurkan barang-barang milik anak yang tertindas. Kendati bullying jenis ini adalah yang paling tampak dan mudah untuk diidentifikasi, namun kejadian bullying secara fisik tidak sebanyak bullying dalam bentuk lain. Remaja yang secara teratur melakukan bullying dalam bentuk fisik kerap merupakan remaja yang paling bermasalah dan cenderung akan beralih pada tindakan-tindakan kriminal yang lebih lanjut.
3.Bullying secara relasional; adalah pelemahan harga diri korban secara sistematis melalui pengabaian, pengucilan atau penghindaran. Perilaku ini dapat mencakup sikap-sikap yang tersembunyi seperti pandangan yang agresif, lirikan mata, helaan nafas, cibiran, tawa mengejek dan bahasa tubuh yang mengejek. Bullying dalam bentuk ini cenderung perilaku bullying yang paling sulit dideteksi dari luar. Bullying secara relasional mencapai puncak kekuatannya diawal masa remaja, karena saat itu tejadi perubahan fisik, mental emosional dan seksual remaja. Ini adalah saat ketika remaja mencoba untuk mengetahui diri mereka dan menyesuaikan diri dengan teman sebaya. 4.Bullying elektronik; merupakan bentuk perilaku bullying yang dilakukan pelakunya melalui sarana elektronik seperti komputer, handphone, internet, website, chatting room, e-mail, SMS dan sebagainya. Biasanya ditujukan untuk meneror korban dengan menggunakan tulisan, animasi, gambar dan rekaman video atau film yang sifatnya mengintimidasi, menyakiti atau menyudutkan. Bullying jenis ni biasanya dilakukan oleh kelompok remaja yang telah memiliki pemahaman cukup baik terhadap sarana teknologi informasi dan media elektronik lainnya. Nah...dari sini kita dapat melihat bahwa pembullyan sangatlah berbahaya.Banyak sekarang pembullyan terjadi di masa remaja ini.Seperti disekolah atau di lingkungan masyarakat umum.Dengan adanya pembullyan ini banyak orang yang sekarang tidak percaya diri dan dihantui oleh rasa ketakutan yang sangat mendalam. APA DAMPAK BULLYING? – Depresi – Rendahnya kepercayaan diri / minder – Pemalu dan penyendiri – Merosotnya prestasi akademik – Merasa terisolasi dalam pergaulan – Terpikir atau bahkan mencoba untuk bunuh diri


Fobia Social adalah penyakit mental yang cukup menjadi fokus perhatian. Fobia ini berkaitan dengan rasa takut luar biasa yang muncul pada situasi-situasi sosial tertentu. Sekilas Mengenai Fobia Sosial Fobia sosial (social phobia) atau juga dikenal sebagai Gangguan Kecemasan Sosial (Social Anxiety Disorder, SAD atau SAnD), adalah penyakit kecemasan yang ditandai dengan munculnya rasa takut yang kuat pada situasi-situasi sosial tertentu, yang menyebabkan tekanan serta ketidakmampuan untuk berfungsi secara normal dalam beberapa bagian kehidupan yang dijalani penderita. Fobia social terbagi menjadi dua: 1. Fobia sosial khusus, muncul ketika bertemu atau berada di dalam situasi-situasi sosial tertentu saja. 2. Fobia sosial umum, biasanya melibatkan rasa takut intens, persisten, dan kronis karena perasaan dihakimi oleh orang lain dan dipermalukan atau dihina karena tindakan-tindakan yang dilakukannya. Dari kedua jenis fobia sosial di atas, fobia sosial umum adalah yang paling parah, sebab perasaan takut cenderung mudah muncul dalam situasi sosial apapun. Ketakutan-ketakutan ini bisa dipicu oleh pengawasan berlebihan oleh orang lain atau munculnya perasaan selalu diawasi. Ketakutan untuk berinteraksi sosial dianggap oleh penderita sebagai sesuatu yang di luar kendali, luar biasa, dan tidak beralasan sama sekali, sehingga untuk menanggulanginya pun dibutuhkan usaha yang sangat keras. Fobia Sosial dan Penyebabnya Dari seluruh penderita fobia sosial, 50% diantaranya telah mengalami gejala fobia sosial sejak usia 11 tahun dan 80% sejak usia 20 tahun. Munculnya fobia sosial pada usia dini ini cenderung mendorong munculnya depresi berat, tindakan penyalahgunaan obat-obatan, dan konflik-konflik psikologis maupun sosial lainnya. Gejala-gejala fisik yang sering muncul pada penderita fobia sosial adalah kulit memerah/merona, munculnya keringat berlebihan (hiperhidrosis), gemetar, jantung berdebar, dan mual. Cara bicara yang terbata-bata atau gagap bersamaan dengan kecepatan bicara yang terlampau tinggi bisa juga muncul pada tingkat tertentu. Dari segi psikologis, serangan panik (panic attacks) mungkin terjadi apabila rasa takut dan tidak nyaman yang muncul luar biasa hebatnya dan benar-benar di luar kendali. “Tahukah anda? Fobia sosial adalah penyakit mental terbesar ketiga di dunia.” Diagnosa dan penanganan dini sangat penting untuk penderita fobia sosial agar tidak mengalami penyakit tambahan lain, seperti depresi. Beberapa penderita mungkin mencoba mengatasinya dengan cara yang sama sekali tidak sehat dan solutif, misalnya konsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang (narkoba). Cara penanganan yang salah ini lumrah terjadi di kalangan penderita, terutama pada mereka yang tidak diberi perhatian, diagnosa dini, penanganan, perawatan, dan pengobatan yang layak. Ini bisa membuat mereka menjadi alkoholik, mendapat gangguan makan, dan terlibat berbagai tindakan penyalahgunaan obat-obatan terlarang. Oleh karena itu, SAD atau fobia sosial seringkali disebut sebagai “penyakit kehilangan kesempatan atau peluang” karena berbagai resiko buruk yang muncul mempengaruhi kondisi kesehatan, sosial, hingga kehidupan si penderita. Penyebab-penyebab Fobia Sosial Karena fobia sosial bisa menyebabkan kematian – akibat dari berbagai resiko yang ditimbulkannya – dan juga karena upaya penanganan serta penyembuhan penyakit ini tidak mudah, maka penyebab fobia sosial tentu bukanlah hal yang bisa dipandang sederhana. Beberapa poin berikut adalah penyebab fobia sosial umum, dimana pemahaman terhadapnya sangat mungkin membantu menangani penderita fobia sosial: 1. Kondisi biologis. Pada tahun 2000, sebuah seminar fobia sosial diselenggarakan di Shanghai, China. Salah seorang pembicara mengatakan bahwa salah satu penyebab terbentuknya fobia sosial adalah substansi kimia dalam tubuh yang disebut “5-hydroxytryptamine“. Substansi ini bertugas menyampaikan informasi ke sel-sel otak. Kandungan 5-hidroxytryptamine yang terlalu banyak atau terlalu sedikit menyebabkan munculnya rasa takut. 2. Kondisi Psikologis. Orang yang menderita fobia sosial biasanya merasa harga dirinya rendah (low self-esteem), takut untuk ditolak atau tidak diterima oleh sekitar/sosial, atau tidak memiliki rasa percaya diri yang cukup, baik dalam hal penampilan fisik (appearance) maupun performa diri (performance). 3. Kondisi atau tradisi keluarga. Banyak ditemukan pada penderita fobia sosial bahwa mereka cenderung memiliki kepribadian yang tertekan sejak mereka anak-anak, atau orangtua yang tidak mendidik mereka dengan keterampilan-keterampilan sosial, atau domisili yang sering berpindah-pindah sehingga mereka tidak memiliki cukup waktu untuk mengakrabkan diri dengan lingkungan sekitar serta karena terlalu seringnya mereka bertemu dengan kondisi asing/baru. 4. Kondisi atau situasi sosial. Penderita sering berada dalam kondisi atau situasi sosial yang tidak berpihak, tidak mendidik, dan tidak memberinya kesempatan untuk berinteraksi sosial dengan baik dan wajar. Misalnya kondisi sosial yang tidak bisa menerima cacat, kekurangan, kelainan, atau perbedaan seseorang, dimana penderita pada awalnya menjadi pribadi yang diasingkan atau tidak diterima. Salah satu contoh kasus sosial yang marak sekarang adalah “bullying“, yang bisa menyebabkan seseorang menjadi sangat tertekan, mengalami fobia sosial, hingga bisa berujung pada depresi. 5. Cara berpikir dan karakter. Cara berpikir sebenarnya juga dipengaruhi oleh karakter seseorang. Cara berpikir instan misalnya, dapat membuat seseorang memiliki harapan berlebih pada suatu usaha yang dilakukannya. Namun ketika hasil tidak dicapai dengan cepat, dia lalu merasa malu, rendah diri, atau bersalah. Contoh lain adalah cara berfikir perfeksionis, apabila sebuah usaha atau tindakan tidak menghasilkan sesuatu yang sempurna sesuai keinginan, atau terkejut dengan suatu kondisi yang tidak diharapkan, dia kemudian mengalami penyesalan dan menyalahkan diri sendiri terlalu mendalam dan tidak berkesudahan. Seseorang yang takut membuat kesalahan ketika sedang berada dalam lingkungan sosial kemudian memutuskan untuk lebih banyak menyendiri. Dia takut orang lain akan mengetahui kesalahan atau ketidakmampuannya dalam melakukan sesuatu. Reaksi yang paling parah adalah dia kemudian melarikan diri atau mengasingkan diri dari masyarakat. Gejala-gejala demikian juga merupakan bagian dari gangguan kecemasan secara umum. 


Hikikomori (引きこもり, ひきこもり, atau 引き籠もり?, arti harfiah: menarik diri, mengurung diri) adalah istilah Jepang untuk fenomena di kalangan remaja atau dewasa muda di Jepang yang menarik diri dan mengurung diri dari kehidupan sosial. Istilah hikikomori merujuk kepada fenomena sosial secara umum sekaligus sebutan untuk orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok sosial ini. Menurut Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang, definisi hikikomori adalah orang yang menolak untuk keluar dari rumah, dan mengisolasi diri mereka dari masyarakat dengan terus menerus berada di dalam rumah untuk satu periode yang melebihi enam bulan.[1] Menurut psikiater Tamaki Saitō, hikikomori adalah "Sebuah keadaan yang menjadi masalah pada usia 20-an akhir, berupa mengurung diri sendiri di dalam rumah sendiri dan tidak ikut serta di dalam masyarakat selama enam bulan atau lebih, tetapi perilaku tersebut tampaknya tidak berasal dari masalah psikologis lainnya sebagai sumber utama."[2] Pada penelitian lebih mutakhir, enam kriteria spesifik diperlukan untuk "mendiagnosis" hikikomori: (1) menghabiskan sebagian besar waktu dalam satu hari dan hampir setiap hari tanpa meninggalkan rumah, (2) secara jelas dan keras hati menghindar dari situasi sosial, (3) simtom-simtom yang mengganggu rutinitas normal orang tersebut, fungsi pekerjaan (atau akademik), atau kegiatan sosial, atau hubungan antarpribadi, (4) merasa penarikan dirinya itu sebagai sintonik ego, (5) durasi sedikitnya enam bulan, dan (6) tidak ada ganguan mental lain yang menyebabkan putus sosial dan penghindaran.[3] Meski tingkatan fenomena ini bervariasi, bergantung kepada individunya, sejumlah orang bertahan mengisolasi diri selama bertahun-tahun atau bahkan selama berpuluh-puluh tahun. Hikikomori sering bermula dari enggan sekolah (istilah Jepang futōkō (不登校?) atau istilah sebelumnya: tōkōkyohi (登校拒否?). Menurut penelitian yang dilakukan NHK untuk acara Fukushi Network, penduduk hikikomori di Jepang pada tahun 2005 mencapai lebih dari 1,6 juta orang.[4] Bila penduduk semi-hikikomori (orang jarang keluar rumah) ikut dihitung, maka semuanya berjumlah lebih dari 3 juta orang.[4] Total perhitungan NHK hampir sama dengan perkiraan Zenkoku Hikikomori KHJ Oya no Kai sebanyak 1.636.000 orang.[5] Menurut survei Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan, 1,2% penduduk Jepang pernah mengalami hikikomori; 2,4% di antara penduduk berusia 20 tahunan pernah sekali mengalami hikikomori (1 di antara 40).[6] Dibandingkan perempuan, laki-laki hikikomori jumlahnya empat kali lipat.[6] Satu di antara 20 anggota keluarga yang orang tuanya berpendidikan perguruan tinggi pernah mengalami hikikomori.[6] Tidak ada hubungannya antara keluarga berkecukupan atau tidak berkecukupan secara ekonomi: jumlah laki-laki hikikomori lebih banyak daripada perempuan kebanyakan berasal dari golongan berusia 20-29 tahun (ada pula kasus dari orang berusia 40 tahunan) kebanyakan berasal dari orang tua berpendidikan perguruan tinggi.


NEET merupakan kepanjangan dari Not Employment, Education, or Training. Istilah ini pertama kali muncul di daerah Inggris pada tahun 90an, istilah ini ditujukan pada orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan (pengangguran) pada usia  berkisar 16 hingga 18 tahun. Istilah ini terus menyebar kenegara-negara maju termasuk Jepang. Istilah NEET berkembang di Jepang kira-kira pada tahun 1997, bertepatan dengan krisis moneter di negara tersebut. Di Jepang NEET dikenal dengan istilah Mugyousha (orang tidak memiliki pekerjaan atau pengangguran), orang-orang yang dikatakan dengan istilah ini yaitu orang yang tidak memiliki pekerjaan, tidak terikat dengan pendidikan dan rumah tangga. Orang-orang Mugyousha pada umumnya merupakan orang-orang penggangguran pada usia produktif yaitu 15-35 tahun. 1. Yankee Kata (tipe Yankee) NEET tipe yankee ini biasanya lebih suka bersenang-senang daripada bekerja, tipe yankee ini sangat bergantung pada orang tua. Tipe ini pada umumnya berasal dari keluarga kaya raya. Oleh karena itu tipe ini biasa disebut juga parasite freeter. 2. Hikikomori Kata (tipe penyendiri) NEET tipe ini biasanya lebih suka mengurung diri dikamar daripada bersosialisasi dengan lingkungan, atau bisa dikatakan tidak suka bersosialisasi dengan lingkungan luar. Biasanya para pengidap NEET tipe ini menghabiskan waktunya dengan bermain game atau internet didalam kamar. Banyak NEET tipe ini mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri/jisatsu karena merasa bosan dengnan kehidupannya. 3. Tachisukumu Kata (tipe ragu-ragu) NEET ini merupakan tipe yang memiliki rasa ragu-ragu sangat tinggi terhadap kehidupan masa depannya. NEET tipe ini kebanyakan diidap oleh orang-orang yang telah lulus dari perguruan tinggi. Mereka merasa ragu-ragu akan kehidupan masa depan mereka. 4. Tsumazuki Kata (tipe gagal) Tipe NEET satu ini dikarenakan oleh kegagalan yang telah dialami. Pada umumnya diidap oleh orang-orang tidak pernah memiliki pengalaman bekerja/membuka usaha, tetapi saat bekerja/membuka usaha mereka mengalami kegagalan. Kegagalan inilah yang menyebabkan mereka takut untuk mencoba kembali dan tidak mau untuk bangkit kembali. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi seseorang menjadi seorang NEET, dari lingkungan dimana mereka bekerja, lingkungan mereka tinggal bahkan orang tua. Tahun 2003, jumlah populasi NEET di Jepang sudah mencapai 520 ribu orang dan diperkirakan jumlah itu akan mengalami kelipatan pada tahun 2010, dan pastinya tahun 2013 juga sudah mengalami kelipatan. Untuk mengantisipasi bertambahnya NEET, pemerintah Jepang berupaya mengadakam program pelatihan khusus untuk para NEET yang bekerja sama dengan perusahaan pemerintah maupun swasta. Lewat program tersebut para NEET diberikan pengarahan, konseling, dan pengenalan dunia kerja, bahkan mereka juga ditawarkan job training yang diharapkan bisa menumbuhkan rasa percaya diri mereka untuk terjun ke dunia kerja. 

1 comments:

Anonymous said...

boleh tau siapa penulisnya artikelnya? atau sumbernya darimana?

Post a Comment

Silahkan Berkomentar... dan Tolong KLIK IKLAN Nya Juga Ya ^^//